Rasa, Ritual, Resto: Menyelami Dunia Sushi dan Budaya Jepang

Rasa pertama: bukan cuma ikan, tapi cerita

Masuk ke dunia sushi itu seperti masuk ke ruangan yang diam tapi penuh bicara. Ada aroma cuka beras yang halus, suara potongan ikan di papan kayu, dan bunyi kecil gelas sake yang saling bersentuhan. Sushi, pada dasarnya, bukan sekadar potongan ikan di atas nasi. Ia adalah kombinasi tekstur dan waktu; nasi yang diasamkan dengan tepat, ikan yang segar pada titiknya, dan teknik yang diwariskan turun-temurun. Saat gigitan pertama menghantam lidah, ada rasa umami yang menyala lembut, kadang manis, kadang asin, selalu seimbang.

Ritual kecil yang bikin makan lebih bermakna

Di Jepang, makan sushi itu ritual. Mulai dari kata “itadakimasu” sebelum makan—sebuah ungkapan syukur—hingga cara menyantap nigiri: seharusnya menggunakan jari, bukan sumpit, dan celupan sedikit ke kecap, bukan membasahi seluruh permukaan ikan. Ada juga oshibori, handuk hangat yang disodorkan sebelum makan untuk menyegarkan tangan. Bahkan jahe acar (gari) yang sering dianggap “pelengkap” punya fungsi: membersihkan langit-langit mulut antara jenis ikan agar rasa tidak bercampur. Detail-detail kecil ini membuat setiap sajian terasa lebih dalam; bukan sekadar konsumsi, tapi percakapan antara makan dan yang membuatnya.

Mengenal varian: dari nigiri sampai temaki

Kalo mau paham sushi sepenuhnya, kenalan dulu sama jenis-jenisnya. Nigiri adalah potongan ikan di atas nasi yang dibentuk tangan. Maki adalah gulungan rumput laut dengan nasi dan isi di tengah. Sashimi hanya potongan ikan tanpa nasi—untuk yang ingin menikmati tekstur ikan murni. Temaki adalah gulungan tangan berbentuk kerucut, praktis dan seru buat dimakan sambil ngobrol. Ada juga chirashi: semangkuk nasi dengan berbagai topping di atasnya, cocok buat yang ingin variasi tanpa harus pesan banyak porsi. Masing-masing punya karakter; ada yang ringan, ada yang berani, dan ada yang lembut bagai sutra.

Di restoran: apa yang perlu kamu tahu (biar nggak salah langkah)

Kalau makan di restoran sushi, ada beberapa hal yang bikin pengalamanmu naik kelas. Pertama, kalau mau pengalaman otentik, duduk di counter di depan itamae (chef sushi). Di sana kamu bisa ngobrol, lihat cara mereka memotong ikan, dan kadang dapat potongan spesial yang nggak ada di menu. Kedua, di Jepang biasanya nggak ada tip—justru sopan untuk menolak saat pelayan menolak kembalian dengan gestur tertentu. Di luar Jepang, aturan ini beda-beda, jadi cek dulu kebiasaan tempatnya. Ketiga, omakase—menu pilihan chef—adalah cara terbaik kalau kamu ingin disetir menikmati keistimewaan restoran tanpa perlu berpikir. Menyantap omakase itu seperti ikut tur singkat ke selera chef; penuh kejutan.

Sebelum pulang, dua tips praktis: pesan minuman yang mendukung, bukan menenggelamkan—sake atau teh hijau sering jadi pasangan serasi. Dan kalau penasaran sama restoran sushi di kota lain, coba cari rekomendasi lokal; banyak tempat yang memadukan tradisi Jepang dengan bahan lokal sehingga menghasilkan sesuatu yang unik. Saya pernah nemu spot keren di Philly yang layak dicoba, lihat contohnya di tsukisushiphilly—mereka memadukan teknik tradisional dengan sentuhan modern.

Bicara etika: sederhana tapi penting

Etika makan sushi nggak rumit. Jangan menusuk makanan dengan sumpit sampai patah; jangan celupin nasi ke kecap sampai basah kuyup; dan kalau kamu disajikan wasabi dalam jumlah kecil di atas nigiri, itu berarti chef sudah menyesuaikan rasanya—tambahkan lagi hanya jika kamu suka. Yang paling penting: nikmati. Hargai proses dan bahan yang ditempatkan di hadapanmu. Ada rasa hormat yang muncul saat kita tahu sedikit tentang perjalanan makanan itu sampai ke piring.

Jadi, kalau suatu saat kamu lagi nongkrong di kafe dan kepikiran sushi, cobalah pikirkan lebih dari rasa semata. Pikirkan juga ritual, teknik, dan cerita di baliknya. Pergi ke restoran dengan kepala terbuka; coba sesuatu yang belum pernah kamu coba. Dan kalau ingin suasana yang hangat dan personal, duduk di counter, ngobrol dengan chef, dan biarkan makanan memimpin obrolan. Selamat menyelami dunia sushi—penuh rasa, penuh ritual, dan selalu siap untuk mengejutkan.