Siang itu aku lagi bengong mikirin makan siang—bete, tapi pengen yang beda. Tiba-tiba kepikiran sushi. Bukan sekadar gulungan nasi dan ikan, tapi sesuatu yang selalu bikin aku penasaran: gimana sih sushi bisa jadi simbol budaya yang rapih, halus, dan terasa “santai tapi serius” sekaligus? Dari situ dimulailah misi kecil: ngulik sushi sampai ketemu restoran asyik. Spoiler: perjalanan ini penuh tawa, wasabi, dan beberapa aturan nggak tertulis.
Sushi itu bukan sekadar makan—lebih ke seni
Pertama kali aku ngeh, sushi itu punya bahasa sendiri. Ada nigiri (sekeping nasi ditepuk lembut, ditempel ikan), maki (digulung pakai nori), sashimi (ikan aja—no rice!), dan banyak variasi lain yang namanya agak susah diucapin saat perut lapar. Di Jepang, makanan itu soal musim dan keseimbangan: bahan bagus dipilih sesuai musim, tampilannya harus menarik, dan rasa disusun supaya bikin harmonisasi di mulut. Jadi saat makan sushi, rasain tiap gigitan—bukan cuma ngebut ngabisin piring kosong.
Etika makan sushi: jangan sok pinter dulu
Ada beberapa aturan kecil yang bikin sesi makan sushi terasa lebih “pantas”. Misalnya: jangan tuang kecap terlalu banyak—cukup sedikit di pinggirnya. Nigiri biasanya dimakan pakai tangan atau sumpit, tergantung mood atau tempatnya. Kalau ada gari (acar jahe), itu buat antara gigitan supaya bersihin langit-langit mulut, bukan buat ditempelin bareng wasabi setiap kali. Oh iya, wasabi itu pedesnya bukan main—jangan sok macho langsung ambil gunungan, nanti malah nyengir nggak karuan.
Beda resto, beda vibe: dari kaiten sampai omakase mewah
Pengalaman makan sushi itu macam-macam. Ada yang pakai kaiten (meja sabuk berjalan)—asyik buat yang pengen coba banyak jenis tanpa mikir panjang. Ada juga izakaya kecil di pinggir jalan yang vibe-nya hangat, tempat ngobrol sambil makan sushi improvisasi chef. Terus ada omakase—kata ini bikin jantung deg-degan karena artinya “aku serahkan semuanya ke chef”. Harganya bisa bikin dompet kempes, tapi puasnya luar biasa karena kamu dapet cerita dan perjalanan rasa dari si chef.
Saat lagi nyari restoran asyik, aku nemu banyak pilihan online dan rekomendasi teman. Satu yang bikin aku sempat kepo adalah tsukisushiphilly, simpel tampilannya dan menu yang menarik—cocok buat yang pengen suasana santai tapi serius soal kualitas. Tapi inget: review itu subyektif, jadi paling asyik tetep cobain sendiri.
Tips anak kos dan kantoran biar nggak salah langkah
Buat yang budgetnya terbatas: cari lunch set atau paket bento. Biasanya lebih ramah di kantong tapi tetap nikmat. Kalau mau romantis tapi nggak mau overbudget, pilih resto dengan kursus bar atau counter seating—vibe lebih intimate tanpa harus bayar omakase. Buat yang alergi seafood, tanya dulu bahan-bahannya. Dan terakhir, jangan malu tanya ke pelayan soal menu; mereka senang kalau ada yang bener-bener pengen ngerti.
Pengalaman pribadi: konyol tapi berkesan
Aku pernah salah mencelup nigiri ke kecap sampai basah semua—chef samperin sambil tersenyum, lalu nunjukin cara mencelup yang benar. Malu? Iya. Belajar? Jelas. Saat itu aku ngerasa kayak murid yang baru pindah sekolah seni: penuh salah langkah, tapi setiap koreksi bikin skill makin oke. Malah abis kejadian itu aku lebih menghargai proses memasak dan presentasi setiap potong sushi.
Penutup: makan dengan mata, hati, dan rasa penasaran
Sushi buat aku bukan cuma soal nge-isi perut. Ini tentang menghargai bahan, memahami ritme musim, dan belajar etika makan yang bikin suasana jadi lebih hangat. Kalau kamu lagi nyari restoran asyik, coba kombinasikan rekomendasi teman, review online, dan rasa penasaran sendiri—kadang tempat terbaik itu yang nggak kamu rencanain. Jadi, kapan kita makan sushi bareng? Aku bawa wasabi cuma sedikit—biar aman.